
Dikisahkan, di suatu desa di Pulau Bali ada sepasang suami istri yang rukun dan berkecukupan. Namun, kebahagiaan kurang lengkap mereka rasakan. Bertahun-tahun menikah, mereka belum juga dikaruniai keturunan. Setiap hari, mereka tidak henti berdoa kepada Sang Hyang Widhi Wasa agar diberi seorang anak. Hingga suatu hari, doa mereka didengar. Sang istri pun akhirnya hamil, dan 9 bulan kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki.
Bayi itu ternyata istimewa, karena masa pertumbuhannya yang cepat dibandingkan bayi lain pada umumnya. Walau masih bayi, porsi makannya seperti orang dewasa. Semakin hari, ia tumbuh semakin besar sehingga bertambah pula nafsu makannya. Lambat laun besar tubuhnya melebihi ukuran orang dewasa, lantas orang-orang memanggilnya dengan sebutan Kebo Iwa yang berarti paman kerbau.
Kebo Iwa yang tumbuh semakin besar membuat kedua orang tuanya kewalahan. Kedua orang tuanya tidak sanggup lagi memenuhi nafsu makan Kebo Iwa, sehingga harus meminta bantuan dari warga desa. Sejak saat itu, kebutuhan pangan Kebo Iwa turut ditanggung seluruh penduduk desa.
Selain nafsu makannya, Kebo Iwa juga terkenal akan sifatnya yang pemarah. Jika keinginannya tidak terpenuhi, Kebo Iwa akan merusak lingkungan sekitarnya. Kebo Iwa dapat menghancurkan rumah warga, bahkan dia tidak segan merusak pura saat merasa makanannya kurang hingga meresahkan warga desa.
Walau begitu, Kebo Iwa sebetulnya dapat diandalkan. Karena tubuh dan tenaganya yang besar, Kebo Iwa kerap dimintai pertolongan untuk mengangkut batu, meratakan tanah, memindahkan bangunan, membendung sungai, hingga menggali sumur. Semua itu Kebo Iwa kerjakan karena imbalan yang disiapkan warga desa baginya, yaitu makanan yang berlimpah.
Di sisi lain, warga desa juga cemas saat penghujung musim hujan tiba. Sebagian besar penduduk yang hidup dari pertanian, mengkhawatirkan persedian bahan pangan saat musim kering datang. Mereka bingung caranya dapat memenuhi kebutuhan Kebo Iwa yang besar, sedangkan kebutuhan pangan mereka sehari-hari terbatas. Mereka dilanda ketakutan membayangkan amarah Kebo Iwa yang kelaparan dan dapat mengamuk sejadi-jadinya. Hal meresahkan ini membuat warga berpikir agar ketakutan itu tidak menjadi kenyataan. Akhirnya, warga berhasil menemukan siasat untuk menyingkirkan Kebo Iwa.
Suatu hari, warga menemui Kebo Iwa yang sedang asyik menyantap makanan yang disiapkan untuknya. Para warga menyampaikan keluh kesah mereka, bahwa banyak rumah warga yang rusak akibat ulah Kebo Iwa saat mengamuk. Namun Kebo Iwa bersikeras, bahwa itu terjadi karena kesalahan penduduk desa yang tidak memberi makanan yang cukup untuknya.
Warga desa berkata, bahwa kekurangan makanan itu terjadi karena gagal panen akibat air yang tidak lagi tersedia di musim kemarau yang berkepanjangan. Namun, jika Kebo Iwa bisa membuatkan sumur yang besar maka pertanian akan kembali subur. Air dari sumur itu akan digunakan warga untuk mengairi sawah-sawah dan lahan pertanian, sehingga tidak ada lagi gagal panen dan bahan pangan berkecukupan. Jika sanggup membuatkan sumur besar tersebut, warga meyakinkan Kebo Iwa bahwa mereka akan memberinya makanan seberapa pun banyaknya.
Membuat sumur adalah hal kecil bagi Kebo Iwa, maka dia pun menyetujuinya bahkan semakin semangat mendengar permintaan tolong penduduk desa. Ia tidak sabar membayangkan betapa puas dirinya dengan makanan yang berlimpah.
Kebo Iwa membangun kembali rumah-rumah penduduk yang rusak dan menggali tanah di tempat yang sudah ditentukan. Pada saat yang bersamaan, warga mengumpulkan batu-batu kapur di sekitar tempat galian Kebo Iwa. Kebo Iwa lalu bertanya mengapa mengumpulkan batu-batu kapur besar, warga desa pun mengatakan bahwa batu-batu itu disiapkan untuk rumah Kebo Iwa. Ia pun semakin semangat menggali tanah sumur, hingga air mulai terpancar keluar dari tanah. Kebo Iwa pikir pekerjaannya sudah selesai, namun ternyata belum. Kepala desa mengatakan bahwa sumur yang digali masih kurang besar untuk menjadi sumber air satu desa. Menurut dan percaya, Kebo Iwa pun terus menggali lubang tanah hingga semakin besar dan dalam.
Setelah bekerja, Kebo Iwa akhirnya kelelahan dan beristirahat untuk makan. Warga rupanya sudah menyiapkan makanan yang banyak bagi Kebo Iwa, dan hal itu membuatnya sangat senang. Tidak menunggu lama, Kebo Iwa langsung menyantap seluruh makanan di depannya. Kekenyangan, Kebo Iwa mengantuk luar biasa dan tertidur pulas hingga mendengkur di dalam sumur hasil galiannya.
Tidurnya Kebo Iwa adalah waktu yang ditunggu-tunggu warga desa untuk menjalankan siasat yang telah disiapkan. Kepala desa memerintahkan warga untuk melempar batu-batu kapur besar yang sudah disiapkan ke dalam galian sumur Kebo Iwa. Ketika warga beramai-ramai melemparkan batu ke lubang tersebut, Kebo Iwa tetap tertidur nyenyak dan tidak menyadari hal yang dilakukan warga.
Air dari dalam tanah terus keluar mengisi galian sumur, dan batu-batu kapur pun semakin memenuhi galian tersebut. Kebo Iwa yang tertidur di dalamnya sontak tersedak dan terkejut menyadari hal yang terjadi. Namun naas, saat Kebo Iwa bangun semuanya sudah terlambat. Rasa kenyang ditambah air dan bebatuan yang memenuhi galian sumur membuatnya tidak sanggup keluar dari sumur dan menyelamatkan diri. Kebo Iwa menjadi tidak berdaya, dan akhirnya tewas terkubur di dalam galiannya sendiri.
Celakanya, air dari dalam galian terus-menerus keluar sampai meluap dan membanjiri desa dan area sekitar. Akibat banjir, warga akhirnya kehilangan harta benda, sawah, ladang, hewan ternak, dan rumah. Semua terburu-buru mengungsi ke tempat yang lebih tinggi tanpa dapat menyelamatkan banyak barang. Timbunan tanah hasil galian Kebo Iwa yang menumpuk kemudian membentuk sebuah gunung yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Batur. Beberapa desa yang tenggelam itu kemudian membentuk sebuah danau besar yang kini dikenal dengan nama Danau Batur.